Sikap Hidup seorang Muslimah

Sikap Hidup Seorang Muslimah
Penulis : Nafiisah M. Ridlwan

KotaSantri.com : Sikap hidup seseorang sangat ditentukan oleh cara pandang mendasar yang dimilikinya tentang kehidupan. Sebagai seorang muslimah, yang telah meyakini aqidah Islam, sudah seharusnya ia senantiasa memiliki kesadaran penuh bahwa keberadaan dan eksistensi dirinya, alam semesta yang ditempatinya serta kehidupan yang dijalaninya di dunia ini bukan terjadi dan berjalan dengan sendirinya. Semua itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia lah sebagai "Subyek Pengendali" segala sesuatu yang berlangsung di alam semesta ini.

Dengan demikian, seorang muslimah akan senantiasa menyadari bahwa posisinya di dunia ini adalah sebagai seorang hamba yang tunduk pada aturan Allah SWT sebagai Khaliqnya. Selanjutnya ia pun meyakini bahwa hanya Allah SWT yang harus ditaati dan disembah, dan hanya keridhaanNya lah yang harus digapai dalam kehidupan ini.

Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat yang menjadi ikrar setiap muslim (maupun muslimah) yang dibacakan dalam setiap shalatnya, "Tidak ada Tuhan (yang disembah) kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah."

Muhammad Ismail dalam kitabnya "Al-Fikrul Al-Islamy" menjelaskan bahwa arti La illaha illallah, baik secara lughawi maupun syar'i, adalah La ma'budda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah). Artinya, seorang muslim/muslimah) yang telah mengikrarkan kalimat syahadat di atas harus mewajibkan dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Cara pandang khas ini merupakan cara pandang yang dilandasi oleh aqidah Islamiyah. Demikian juga, seluruh pemikiran-pemikiran cabang yang ada saat ini pun harus dibangun di atas landasan aqidah Islamiyah.

***

Aqidah Islam sebagai Pijakan Berfikir dan Bertindak

Ketika seorang muslimah mengambil Islam sebagai aqidahnya, maka sudah seharusnya ia senantiasa menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar kehidupannya. Ia pun harus memahami bahwa karakter aqidah Islam adalah aqidah ruhiyah dan aqidah siyasiyah. Sehingga ia senantiasa menjadikan aqidah Islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak.

Tak satu pun pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan kecuali berangkat dan berstandar hanya pada aqidah Islamiyah. Demikian juga ketika bertindak atau bersikap, maka tak satu pun tindakan atau pun sikap yang ia tunjukkan kecuali berstandar pada hukum syara' yang terpancar dari aqidah Islamiyah tersebut.

Seorang muslimah tidak akan merasakan dirinya hidup kecuali di atas pijakan aqidah Islamiyah. Bahkan sulit baginya untuk melepaskan diri dari ikatan aqidah Islamiyah. Dengan demikian, ketika nilai-nilai asing datang dan berusaha menyusup ke alam kehidupannya, maka ia tiada ragu dan sungkan untuk menolaknya, bahkan semaksimal mungkin berusaha mengikis "virus" tersebut dari kehidupannya.

Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk mengambil atau mengakomodasi nilai-nilai asing, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai demokrasi. Karena ia menyadari bahwa nilai-nilai tersebut adalah racun yang membahayakan bagi diri dan umatnya. Ia menyadari bahwa jika mengambil apalagi meminum racun tersebut sama saja dengan melakukan upaya bunuh diri.

Seorang muslimah tak pernah sedikit pun tergiur oleh bujuk rayu pemikiran-pemikiran asing yang bermaksud menyeretnya. Ia tak pernah bergeming sedikit pun oleh bujukan materi ataupun manfaat yang disuguhkan di hadapannya. Untuk meneguk setetes pun, tak kuasa ia melakukannya. Karena ia sadar bahwa semua itu hanyalah tipu daya yang akan membawa dirinya pada jurang kesengsaraan dan kesesatan. Sehingga ia semakin berusaha untuk memperkuat aqidahnya. Ia pun tak melupakan apa yang telah menjadi firman Allah SWT dalam Al-Baqarah : 256, "... Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus."

Dalam kondisi apapun, seorang muslimah yang menjadikan aqidah Islam sebagai pegangan hidupnya akan tetap pada pendirian untuk mengambil hanya satu standar nilai dalam hidupnya. Sekalipun ia harus mengorbankan harta, jiwa, dan raganya ia akan tetap memilih jalan hidup yang hakiki. Baginya hidup yang hakiki bukan untuk memperoleh materi ataupun manfaat, akan tetapi hidup yang hakiki adalah meraih kemuliaan di sisi Al-Khaliqnya. Ia pun sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meraih kemuliaan hanyalah dengan menjadikan aqidah Islamiyah sebagai standar baku dalam kehidupannya.

Pada saat seorang muslimah menjadikan aqidah Islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak itulah dikatakan ia telah menemukan jati dirinya, sebagai sosok pribadi muslim. Yakni sosok kepribadian yang khas, yang murni, dan istimewa, tidak tercampur sedikit pun oleh nilai-nilai asing.

Begitulah seharusnya seorang muslimah. Ia senantiasa memegang idealisme Islam dengan kuat. Ia pun optimis bahwa idealisme Islam yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia.

***

Acuh Tak Acuh Bukan Tabiatnya

Bukan tabiat seorang muslimah hidup dengan konsep individualisme. Sebaliknya ia senantiasa menempatkan dirinya menjadi bagian dari umat Islam yang lain. Karenanya ia tak lupa dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, "Kamu akan melihat orang-orang yang beriman saling berkasih sayang, saling mencintai, saling mengasihi, yaitu bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota saja sakit, maka tertariklah bagian anggota yang lain ikut sakit dengan tidak dapat tidur dan badan panas." (HR. Bukhari Muslim).

"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan barangsiapa yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasehat bagi Allah dan rasulNya, bagi kitabNya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka." (HR. Ath- Thabrany).

Oleh karena itu, seorang muslimah tak akan pernah tinggal diam ketika melihat nilai-nilai asing yang membahayakan bagi saudara-saudaranya (umat Islam yang lain). Ia tak bisa berdiam diri melihat fakta yang demikian. Ia akan senantiasa berusaha menyadarkan umat Islam untuk senantiasa waspada terhadap nilai-nilai asing yang membahayakan bagi kehidupan mereka.

Ia bagaikan pembawa pelita penerang jalan, pembawa penjelas antara yang haq dan yang bathil, sebab ia adalah generasi penerus penyampai risalah Rasulullah SAW. Ia menjadi penuntun orang-orang yang meminta petunjuk ke arah jalan kebenaran. Dirinya sarat dengan bejana-bejana ilmu dan akalnya ibarat khazanah-khazanah hikmah. Ia tak akan pernah merelakan masyarakat (umat Islam) dijauhkan dari nilai-nilai Islam. Ia pun tak rela masyarakat berada di bawah pengaruh orang-orang tak berilmu yang dengan mudah memberikan fatwa untuk menerima kebathilan. Dengan demikian, keberadaan dirinya senantiasa dibutuhkan umat Islam.

Untuk menjadi muslimah yang demikian tentulah sangat tidak cukup hanya menjadikan aqidah Islamiyah sebatas ucapan lafadz-lafadz. Akan tetapi haruslah berusaha menjadikan aqidah tersebut sebagai standar baku bagi kehidupannya dan memahami konsekuensinya. Sehingga ia pun memiliki kepedulian yang tinggi untuk memelihara nilai-nilai Islam yang ada dalam dirinya dan nilai-nilai Islam yang ada dalam diri umat Islam pada umumnya.

Nilai-nilai asing yang membahayakan dirinya ia pahami membahayakan pula bagi umatnya. Demikian pula nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya ia pahami pula membahayakan bagi dirinya. Hingga ia pun senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi untuk memelihara diri dan umatnya dari kontaminasi racun-racun dunia. Ia pun dengan lantang akan mengatakan racun adalah racun, madu adalah madu, kebenaran adalah kebenaran, kebathilan adalah kebathilan. Tak pernah ia membungkus kebathilan dengan sesuatu agar tampak baik di hadapan umat Islam. Bahkan tanpa segan membongkar keburukan nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya dengan sejelas-jelasnya, untuk kemudian menunjukkan al-haq yang sesungguhnya, tanpa ragu dan bimbang.

Demikianlah seharusnya seorang muslimah bersikap peduli terhadap umat Islam. Kepeduliannya terhadap umat Islam adalah kepeduliannya terhadap Islam sebagai dien yang dianutnya.

***

Perjuangan Hakiki Muslimah Bersama Umat

Ketika kaum muslimin telah menyadari akan esensi aqidah Islam yang dipeluknya, maka muslimah bersama ummat bersatu dalam barisan perjuangan yang hakiki. Yakni perjuangan yang berada di bawah panji aqidah LAA ILLAAHA ILLALLAH MUHAMMADAR RASULULLAH. Dengan kata lain, perjuangan yang berperspektif Islam.

Dalam perjuangan ini, kaum muslimin (termasuk muslimah) berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang hakiki. Nilai-nilai Islam yang murni tanpa adanya noda-noda asing yang akan mencemari nilai Islam. Nilai ini tentu saja bukan nilai yang absurd, akan tetapi merupakan nilai yang pasti akan membawa kaum muslimin sampai pada suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan tuntunan Ilahi. Dalam perjuangannya tak pernah ada kata sepakat dengan nilai-nilai asing. Dengan kata lain, tidak ada kata kompromi ataupun akomodasi dengan nilai-nilai yang datang dari luar Islam, sekalipun nilai asing tersebut nampak baik luarnya. Sebab ukuran kebaikan tidak bisa dilihat dari luarnya, akan tetapi hanya dapat dilihat dari ideologi yang mendasarinya.

Oleh karena itu, bukan sesuatu yang tidak mungkin, jika kaum muslimin selalu bercita-cita mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Bukan pula hal yang mustahil untuk menolak setiap bentuk nilai-nilai asing yang bertentangan dengan nilai Islam.

Akhirnya, hanya kembali kepada aqidah Islamiyah, kaum muslimin dapat mencapai kemuliaan yang hakiki.

Referensi :
1. Muhammad Ismail, Al-Fikrul Al-Islamy, 1953.
2. Taqiyyuddin An-Nabhany, Syakhshiyyatul Islamiyah, Darul Ummah.
3. Taqiyyuddin An-Nabhany, Attakatul Hizby, 1953.
4. Drs. H. Moh. Rifa'i, Tiga Ratus Hadits Bekal Da'wah dan Pembina Pribadi Muslim, 1980, Wicaksana, Bandung.
5. Abu Laily dan Drs. H. Zahri Hamid, Al-Hadits, 1983, Kota Kembang Yogyakarta.

Istimewanya Kaum Wanita


Istimewanya Wanita
Penulis : Rinna Fridiana

KotaSantri.com : Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia, namun harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan.

Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya. Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh.

Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya. Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya.

Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada di sisi suaminya tanpa ragu. Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan. Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan bila mana ia perlukan.

Kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, susuk yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya. Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya, tempat di mana cinta itu ada.

***

Bukan yang pertama tulisan seperti itu saya baca. Tiga tahun lalu, saya menerima kado ulang tahun dari suami yang disertai tulisan yang hampir mirip seperti itu, saya juga pernah membaca di beberapa majalah yang memuat kutipan kata-kata yang sama, dan kemarin seorang teman mengirimkan tulisan itu ke alamat e-mail saya. Sekilas melihatnya saja, saya sudah merasa tahu seperti apa isinya. Namun karena tulisan itu selalu membuat hati saya bergetar, maka saya kembali membacanya dengan hati-hati dan berusaha menikmati kembali getaran yang ada. Subhanallah, masih bisa terasa nikmatnya rasa syukur yang dalam.

Tanpa bermaksud merendahkan kaum lelaki sebagai imam keluarga, alhamdulillah, saya diciptakan sebagai wanita. Lihat saja dalam tulisan itu, bagaimana istimewanya Allah SWT menciptakan wanita. Bagaimana banyaknya kesempatan-kesempatan yang diberikan untuk berbuat kebaikan, bagi anak-anaknya, bagi suaminya. Semoga setiap wanita bisa memanfaatkan setiap kesempatan baik itu. Namun pertanyaan yang terpenting adalah, apakah sebagai wanita kita sudah memahami peran kita? Apakah kita sudah memanfaatkan kekuatan yang kita miliki yang sudah demikian istimewanya diberikan oleh Sang Pencipta bagi kaum wanita? Sudahkah?

Apakah benar kita telah menyediakan bahu kita untuk bersandar bagi bayi-bayi kita? Putra-putri tercinta yang telah kita lahirkan ke dunia dengan perjuangan di ujung maut? Atau kita terlalu sibuk mengurus diri, terlalu sibuk bercanda dengan tetangga dan kolega, sehingga kita menyerahkan urusan anak-anak sepenuhnya pada si bibi, pada baby sitter, serta enggan untuk berepot ria menggendong dan menyalurkan cinta kasih melalui pelukan bagi seseorang yang katanya buah hati kita. Ya Allah, semoga hati kita senantiasa dilembutkan untuk selalu mau menyediakan waktu buat sekedar menyediakan bahu bagi bersandarnya kepala anak kita dikala mereka membutuhkan.

Apakah benar kita sudah cukup punya kekuatan untuk membangun kesabaran sebagai ibu atas penolakan anak-anak kita? Jangan sampai kita malah memberinya sumpah serapah manakala mereka enggan kita mintai tolong, jangan sampai kita malah memakinya dengan umpatan atas penolakan mereka pada nasehat kita selaku orangtuanya. Jangan lupa, nasehat terbaik adalah dengan contoh perilaku dari kita sebagai orang yang bertanggung jawab atas perkembangan sikapnya. Jangan sampai kita menggerutu dengan mengeluarkan kata-kata penyesalan karena telah melahirkan anak-anak kita, ingatlah bahwa mereka tidak minta dilahirkan dari rahim kita. Mereka ada karena Allah menitipkan mereka pada kita. Mereka ada karena Allah mempercayakan mereka pada kita untuk kita didik dan besarkan menurut ajaranNya. Bagaimana mungkin kita berani mencelakakan anak-anak kita yang merupakan titipanNya apalagi mampu untuk membunuhnya dengan alasan apapun, na'udzubillah.

Apakah benar kita sudah cukup punya kekuatan untuk tetap tegar mendampingi suami manakala kesulitan dan keraguan menghampiri kita? Ataukah kita mengomel siang malam saat gaji suami tidak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari? atau kita marah tak terkendali manakala kita menemukan kejanggalan atas perilakunya. Kita mencurigai setiap perubahan sikapnya dan memvonisnya berselingkuh manakala kecemburuan tak lagi terkendali? Dan terlupa bahwa mungkin segala perilakunya akibat dari sikap kita sebagai istrinya, terlupa bahwa mungkin perubahan sikapnya jutru sebagai dampak dari cara kita melayaninya, cara kita memandangnya. Ah, mungkin lebih baik kita koreksi diri dulu, intropeksi diri untuk kemudian kita bicarakan dari hati ke hati dengan suami, mencari jalan keluar terbaik bersama-sama untuk menemukan solusi dari setiap permasalahan. Pasti akan terasa indahnya suatu hubungan manakala kita dengan tawadhu membangun komunikasi rutin.

Dan setiap tetesan air mata kita, semoga terlahir dari hati yang lembut yang hanya berharap ridha Allah semata. Bukan tetesan air mata karena rasa sakit hati atas perlakuan anak-anak kita, bukan tangisan karena sakit hati atas sikap suami kita, bukan tangisan penyesalan karena kita merasa kehilangan benda, kehilangan nama baik, kehilangan kesempatan mendapatkan rejeki atau kehilangan peluang hebat menjadi sesuatu yang lebih berarti. Semoga tetesan air mata kita, tangisan hati kita, lebih kepada penyesalan karena kita tidak cukup baik untuk menjadi umatNya, sehingga kita merasa harus memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Semoga banjirnya hati kita disebabkan karena kita merasa tak punya cukup cinta di dalam hati yang bisa kita persembahkan buat Allah dan orang-orang di sekitar kita.
I